Pada tahun 2011 ketika IUF terlibat dalam diskusi dengan manajemen global dari sebuah perusahaan makanan dan produk perawatan pribadi terkemuka mengenai pengaturan kerja tidak tetap yang kejam di sebuah pabrik teh di India, manajer pabrik memanggil semua pekerjanya untuk berkumpul di “ruangan aula” (pertemuan di floor pabrik). Dia memulai dengan mengkritik serikat pekerja karena mengangkat masalah yang ada di pabrik India dengan manajemen global melalui IUF, dan menambahkan kata-kata “persetan dengan IUF!” untuk tindakan yang lebih baik. Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa perselisihan dengan serikat pekerja adalah “masalah keluarga” yang menggambarkannya sebagai “perkelahian antara suami dan istri”. Dia kemudian bertanya secara retoris: “Dan apa yang akan terjadi ketika ada pertengkaran antara suami dan istri?” lalu ada seorang pekerja berteriak menjawab, “ada kerabat yang datang berlari!” dan semuanya tertawa. Manajer pabrik melepaskan lebih banyak lagi sumpah serapah dan juga caci maki, menuntut agar dia dihormati. Ketika seorang penerjemah menerjemahkan rekaman audio, dia terkejut dengan sumpah serapah yang didengarnya. (tidak dapat dijelaskan di sini). Tapi anggota kami tidak terkejut sama sekali.
Di dunia korporat, penggunaan “kita adalah keluarga” seharusnya mengacu pada kepedulian yang dimiliki perusahaan terhadap karyawannya, kesetiaan dan komitmen bersama. Namun pada kenyataannya ia menetapkan manajer pabrik atau manajer umum sebagai “ayah” dan pekerja sebagai “anak-anak”. Paternalisme ini memungkinkan penegasan kekuasaan absolut yang berbahaya, yang kemudian membuka pintu bagi segala macam Tindakan disipliner dan kekerasan, termasuk pelecehan seksual. Seperti yang sering dikomentari anggota kami: “dari keluarga macam apa mereka berasal?”
Pertanyaan lain muncul ketika manajemen menyatakan “kita adalah keluarga” adalah: siapa sebenarnya yang termasuk dalam keluarga? Penyalahgunaan yang meluas terhadap pengaturan pekerjaan tidak tetap, mengakibatkan sebagian besar pekerja yang dipekerjakan secara tidak tetap atau tetap dengan upah yang lebih rendah, tunjangan yang lebih sedikit, dan ketidakamanan yang lebih besar. Mereka jelas tidak ada dalam keluarga. Pun juga bukan pekerja operator outsourcing dan pihak ketiga yang memberikan kontribusi luar biasa bagi pertumbuhan bisnis dan keuntungan, tetapi tidak mendapatkan manfaat darinya.
Kembali pada tahun 2011 tidak ada anggota kami yang bekerja di perusahaan transnasional mana pun di wilayah tersebut yang terkejut dengan retorika “kita adalah keluarga” (atau penyalahgunaan yang menyertainya). Satu dekade kemudian klaim oleh manajemen bahwa “kita adalah keluarga” tetap tersebar luas dan generasi manajemen yang lebih muda tampaknya benar-benar mempercayainya.
Joe Pinsker, menyebutkan dalam The Atlantic, memperingatkan bahaya ini dan bagaimana “kita adalah keluarga” dapat diterjemahkan saat kita di tempat kerja:
Ketika saya mendengar sesuatu seperti “kita seperti keluarga di sini”, saya diam-diam menyelesaikan analog: Kita akan memaksakan kewajiban kepada Saudara, mengharapkan pengabdian Saudara tanpa syarat, tidak menghormati Batasan yang Saudara miliki, dan menjadi pahit ketika Saudara memprioritaskan sesuatu di atas kami.
Pinsker berpendapat bahwa dari sudut pandang bisnis ini merupakan hal kontra-produktif:
Ketika sebuah bisnis disajikan sebagai sebuah keluarga, para pekerjanya mungkin merasakan tekanan untuk menjanjikan tingkat loyalitas yang tidak masuk akal kepada majikan mereka, bertahan dengan jam kerja yang Panjang, perlakuan buruk, dan pengikisan batas-batas kehidupan kerja, semua dalam semangat harmoni dan sebuah tujuan bersama [dikutip dari Joe Pinsker, “Sisi Gelap dari Mengatakan bahwa Pekerjaan adalah “Seperti Keluarga”, The Atlantic, 17 Februari 2022]
Anggota kami di seluruh wilayah berbagi pengalaman yang sama tentang hal ini. Manajemen sering salah mengatur susunan kepegawaian dan jadwal kerja, lalu mereka beralih ke anggota kami untuk meminta mereka melakukan lembur yang tidak direncanakan dan sering kali tidak dibayar. Permintaan (sering dikomunikasikan melalui WhatsApp atau Messenger dengan emoji yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa semuanya sangat ramah) disajikan sebagai sukarela tetapi sarat dengan tekanan. Mengatakan tidak akan diartikan sebagai tidak setia dan mengecewakan semua orang, akan ada konsekuensi dalam tinjauan kinerja apa pun, dan Saudara harus melakukannya karena kita adalah keluarga.
Mengatakan tidak pada jam kerja yang berlebihan dan tidak teratur, tidak hanya menunjukkan kurangnya loyalitas dan kewajiban yang sesuai untuk sebuah keluarga, tetapi juga dilaporkan ke manajemen yang lebih tinggi sebagai kurangnya “fleksibilitas” di antara para pekerja. Dengan gagalnya manajemen lokal dalam memperkerjakan pekerja yang cukup untuk usahanya dan mengatur jadwal kerja, serta perencanaannya. Kemudian para pekerja diminta untuk melakukan pekerjaan tambahan selama dua jam, pada waktu 40 menit sebelum mereka mengakhiri shiftnya. Jika pekerja mengatakan tidak (karena keluarga asli mereka mengharapkan mereka berada di rumah), mereka dianggap tidak setia dan level manajemen yang lebih tinggi akan mendapatkan informasi bahwa anggota serikat tidak cukup fleksibel.
Hal ini baru saja terjadi di pabrik Malaysia dari perusahaan susu global terkemuka, di mana manajemen perusahaannya menggunakan hal ini untuk membenarkan perekrutan pekerja migran yang direkrut dari luar negeri karena pekerja migran dengan kontrak jangka pendek akan lebih “fleksibel”. Berikutnya terjadi penggerebekan oleh polisi imigrasi dan penahanan pekerja migran yang direkrut dan dipekerjakan secara ilegal, hal ini menunjukkan bawa fleksibilitas sebenarnya berarti kerentanan (tidak ada kekuatan untuk mengatakan, Tidak!) dan mereka tidak dianggap sebagai keluarga.
Salah satu masalah paling umum yang diangkat oleh pekerja makanan cepat saji dan restoran di wilayah ini adalah prevalensi “loyalitas kerja”. Pekerjaan loyalitas adalah pekerjaan tidak dibayar yang wajib dilakukan oleh pekerja restoran pada setiap akhir shift mereka. Durasinya selama 15 menit hingga dua jam. Hal itu tidak wajib tetap seperti wajib – dalam arti kewajiban keluarga. Bekerja tanpa upah di akhir shift menunjukkan loyalitas kepada perusahaan dan rekan kerja serta diperkuat oleh retorika keluarga.
Seperti yang ditunjukkan oleh anggota kami pada sektor food services, “kesetiaan” ini tidak saling menguntungkan. Ini hanya berjalan satu arah. Pekerja diharapkan bekerja tanpa upah tetapi perusahaan masih dapat menugaskan Kembali, memindahkan atau memecat mereka tanpa ragu-ragu. Dalam Pertemuan Food Service Workers IUF Asia/Pasifik yang diadakan pada 26 Juni 2022, semua pekerja restoran dan makanan cepat saji dari 13 negara menceritakan pengalaman yang sama dan sepakat dengan suara bulat bahwa “kerja loyalitas” hanyalah pencurian upah.
Ironisnya, pada beberapa kesempatan pengendara pengirim makanan yang bekerja di platform digital mungkin bertemu dengan manusia nyata yang mewakili manajemen, mereka juga mendengar “kami adalah keluarga”. Ini adalah situasi di mana perusahaan seperti Food Panda berjuang habis-habisan untuk mencegah undang-undang yang akan menetapkan tanggung jawab kepada mereka sebagai pemberi kerja.
Pada Oktober 2021, Joshua A. Luna menulis sebuah artikel di Harvard Business Review dengan judul yang memperjelas tentang: “Efek Beracun dari Branding Tempat Kerja Anda sebagai ‘Keluarga’”. Luna menunjukkan bahwa menyebut perusahaan sebagai keluarga tidak hanya membuat karyawan mengalami pelecehan, tetapi juga memperluas loyalitas untuk menutupi kesalahan apa pun:
Banyak contoh dan penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang terlalu setia lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam tindakan tidak etis untuk mempertahankan pekerjaan mereka, dan juga lebih mungkin untuk dieksploitasi oleh manajemen mereka. Ini dapat bermanifestasi sebagai diminta untuk bekerja dengan jam kerja yang tidak masuk akal atau pada proyek atau tugas yang tidak terkait dengan peran Saudara, atau menyembunyikan sesuatu karena itu adalah kepentingan terbaik perusahaan (baca: keluarga). Kita semua bersama-sama, jadi Saudara harus memainkan peran Saudara, bukan?
Apa yang tampaknya tidak dipahami oleh manajemen perusahaan adalah bahwa “kesetiaan keluarga” dapat diterapkan oleh manajemen lokal untuk menutupi segala macam kesalahan dalam kepengurusan, ketidakpatuhan dan korupsi. Dalam pengalaman kami baru-baru ini, sebuah perusahaan global terkemuka dengan bisnis air yang besar di Indonesia gagal sepenuhnya dalam tata Kelola dan pengawasan perusahaannya untuk mengidentifikasi korupsi besar-besaran dan meluas. Tidak ada keraguan bahwa gagasan menjadi “keluarga” memainkan peran penting dalam mencegah whistle-blowing. Faktanya, pelapor diberhentikan karena melanggar aturan utama kesetiaan.
Konsekuensi dari ini bisa sangat berbahaya. Loyalitas keluarga di tempat kerja atau perusahaan adalah salah satu bentuk tekanan paling umum yang dihadapi pekerja karena tidak melaporkan pekerjaan yang tidak aman, kecelakaan industri, dan cedera. Sekali lagi itu adalah retorika “kita bersama-sama” dan menutupi cedera dan kecelakaan adalah demi kepentingan terbaik keluarga. Jauh dari sekedar retorika, ini benar-benar membahayakan nyawa pekerja.
Seperti yang disarankan Justin Pot dari perusahaan Zapier kepada perusahaan dalam unggahan pada sebuah blog pada 4 Juni 2021:
Perusahaan Anda bukan keluarga, dan saya pikir berpura-pura sebaliknya tidak sehat dan tidak produktif.
Di bawah sub-judul, “Keluarga tidak memecat orang”, Pot mengamati:
Saya yakin Saudara telah mengecewakan ibu Saudara berkali-kali – saya tahu saya telah mengecewakan ibu saya. Namun, ibu tidak pernah memecat saya karena kinerja yang buruk, dan dia juga tidak memberhentikan saya ketika proyeksi triwulan tidak mencapai metrik target. Kesetiaan keluarga tidak didasarkan pada kinerja karena itu tidak masuk akal.
Tetapi perusahaan berbeda. Mereka tidak memperkerjakan orang karena cinta atau kesetiaan karena perusahaan, menrut definisi, tidak dapat merasakan hal itu. Perusahaan Saudara memperkerjakan Saudara karena apa yang Saudara lakukan berharga – setidaknya, cukup berharga untuk membenarkan gaji Saudara.
Artikel Luna di Harvard Business Review juga memperingatkan bahwa dalam pendekatan “keluarga”, manajemen menjadi “orang tua” dan karyawan sebagai “anak-anak” dapat memiliki konsekuensi serius dalam hal ketidakberdayaan:
Dinamika ini juga dapat membuat karyawan merasa tidak berdaya (biasanya orang tua yang memutuskan, dan anak-anak mengikuti perintah) untuk membela diri mereka sendiri dan melakukan pekerjaan yang berada di luar zona nyaman mereka. Hal ini memungkinkan kepribadian dan dinamika yang telah ditentukan sebelumnya untuk mengambil preseden atas apa yang diharapkan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik.
Seperti semua bentuk perenalisme, seluruh gagasan “kita adalah keluarga” dalam pendekatan korporasi berakar pada pertanyaan tentang kekuasaan. Ini tidak hanya menetapkan majikan atau manajemen sebagai orang tua dan pekerja sebagai anak-anak, tetapi menyatakan semua orang berada di luar keluarga. Inilah salah satu alasan mengapa gagasan tentang perusahaan sebagai sebuah keluarga tetap bertahan hingga hari ini meskipun kegagalannya berulang kali dan risiko yang jelas. Ini memungkinkan manajemen untuk menolak serikat pekerja dan mendorong pekerja untuk menolak bergabung dengan serikat pekerja atas dasar bahwa: kami adalah keluarga dan kami tidak membutuhkan orang luar ini!
Dalam hal ini ada pengaruh kuat Amerika Utara dalam ideologi dan praktik manajemen di kawasan Asia/Pasifik saat ini. Serikat pekerja dipandang sebagai pihak ketiga yang bermusuhan yang mengganggu hubungan antara manajemen dan karyawan. Bahkan, sumber daya keuangan yang besar diarahkan ke konsultan dan firma hukum yang tugas tunggalnya digambarkan sebagai “penghindaran serikat”. Ketika sebuah perusahaan makanan global yang besar mengiklankan manajer SDM di Amerika Utara, itu secara eksplisit membutuhkan “pengalaman dalam penghindaran serikat pekerja”.
Kerugian yang terjadi pada pekerja dan kemampuan mereka untuk melaksanakan hak asasi mereka yang sudah jelas diakui secara internasional. Pasal 23 (4) Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk atau bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya. ILO menetapkan ini sebagai hak fundamental. Tidak ada kualifikasi atau catatan kaki yang menyatakan, “kecuali jika hubungan kerja itu seperti keluarga!” namun menyebut perusahaan atau tempat kerja sebagai “keluarga” entah bagaimana membenarkan penolakan hak-hak itu.
Ini juga merugikan perusahaan. Hanya sedikit manajer yang benar-benar memahami hubungan Industrial dan bahkan lebih sedikit lagi yang mempraktikkannya. Kelompok yang mengilang dengan cepat ini merupakan kelompok manajer yang memiliki pengalaman hubungan Industrial dan mereka tahu bahwa hubungan Industrial yang baik sangat penting untuk setiap bisnis yang sukses. Dan di era yang menuntut keberlanjutan yang lebih besar, itu bahkan lebih penting dari sebelumnya.
Hubungan Industrial yang baik memastikan pekerja memiliki perwakilan kolektif melalui serikat pekerja yang mereka miliki dan menjamin mereka dapat mengakses hak-hak mereka. Hubungan Industrial yang baik adalah berdasarkan rasa saling menghormati, yang sehat dan dapat menyelesaikan perselisihan serta pemogokan, dan juga meningkatkan moral dan produktivitas. Pekerja yang diberdayakan oleh serikat mereka, dapat berbicara menentang kekerasan berbasis gender, pelecehan seksual dan korupsi. Dalam hal ini tingkat manajemen yang lebih tinggi akan mendengar apa yang seharusnya (dan perlu) mereka dengar mengenai kenyataan di tempat kerja. Ini memperkuat tata kelola perusahaan. Menyebut tempat kerja sebagai keluarga hanya akan memperkuat kekuatan manajemen lokal yang tidak terkendali dan merusak tata kelola perusahaan. Ini bukan keluarga, ini bisnis.
Pabrik tempat kami bersengketa pada tahun 2011 selalu melakukan kesalahan kepengurusan dan akhirnya ditutup. Perusahaan mengabaikan hak berunding bersama anggota kami, melanggar konvensi perburuhan internasional yang mereka klaim untuk dipatuhi, dan secara paksa memberhentikan semua pekerja tanpa negosiasi. Terlalu berlebihan untuk keluarga.