Acara paralel CSW66, Jumat, 18 Maret 2022

Konsep “sex work/pekerjaan seks tidak sesuai dengan konsep pekerjaan yang layak. Pekerjaan yang layak bukanlah deskripsi pekerjaan – pekerjaan yang baik vs. pekerjaan yang buruk, pekerjaan yang layak vs. pekerjaan yang tidak layak. Ini adalah istilah yang dimaksudkan untuk menangkap berbagai tindakan komperhensif dan berjangkauan luas yang diperlukan untuk memastikan bahwa pekerja menggunakan hak asasi kolektif dan individu mereka. Ini mengacu pada prasyarat agar hak asasi pekerja dapat diwujudkan sepenuhnya. Bukan soal uang (upah, pendapatan), tapi soal pemenuhan aspirasi pekerja.

Menurut ILO:

pekerjaan yang layak merangkum aspirasi orang-orang dalam kehidupan kerja mereka. Ini melibatkan kesempatan untuk pekerjaan yang produktif dan memberikan pendapatan yang adil, keamanan di tempat kerja dan perlindungan sosial untuk keluarga, prospek yang lebih baik untuk pengembangan diri dan integrasi sosial, kebebasan untuk mengekspresikan kekhawatiran mereka, mengatur dan berpatisipasi dalam keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka, serta kesetaraan kesempatan dan perlakuan bagi seluruh perempuan dan laki-laki.

Dengan prasayarat ini, semua pekerjaan – terlepas dari seberapa bahaya, sulit, atau dibayar rendah – dapat menjadi pekerjaan yang layak. “Pekerjaan seks” – penjualan perempuan untuk penggunaan dan eksploitasi seksual – tidak bisa. Prasyarat untuk “pekerjaan seks” adalah kemiskinan, hutang, kurangnya perlindungan sosial, ketidakamanan, marginaliasai, pengungsian karena konflik dan perang, dan perdagangan manusia. Hal inilah yang memaksa perempuan terjun ke dunia prostitusi. Ini paksaan, bukan pilihan.

“Pekerjaan seks” tidak dapat menjadi pekerjaan yang layak karena apa yang disebut “industri seks” membutuhkan kerentanan ekonomi, sosial, dan fisik dari perempuan dan anak perempuan. Sebagai “bisnis” yang menghasilkan keuntungan, itu harus melanggengkan kerentanan untuk memperluas sumber dayanya. Mengakhiri kerentanan ekonomi, sosial, dan fisik perempuan dan anak perempuan – yang merupakan bagian dari makna dari arti pekerjaan yang layak – akan mengakhiri “industri seks” itu sendiri.

Berdebat bahwa prostitusi adalah pekerjaan berarti berargumentasi bahwa prostitusi sebanding dengan segala bentuk pekerjaan yang diupah lainnya: menjual tenaga kerja Anda dengan imbalan upah. Tenaga kerja mental dan fisik ini (dan semua bentuk pekerjaan adalah kombinasi keduanya), menghasilkan produk atau jasa. Namun dalam “pekerjaan seks” yang dijual bukanlah tenaga kerja mental dan fisik perempuan, melainkan dirinya sendiri. Ia adalah komoditasnya. Ia adalah produk yang dikonsumsi. Ini menghalangi semua prasyarat untuk pekerjaan yang layak. Karena itu bukan pekerjaan.

Prostitusi menjadi sebuah industri karena diizinkan atau didorong untuk beroperasi, menghasilkan kekayaan ekonomi yang besar – keuntungan kriminal. Tetapi eksploitasi perempuan dalam industri ini untuk menciptakan keuntungan itu bukanlah pekerjaan. Perempuan tidak dipekerjakan untuk menyediakan layanan (menjual tenaga kerja mereka dengan upah), mereka adalah produknya. Oleh karena itu, ini bukan pekerjaan, tetapi perbudakan perempuan dan anak perempuan, yang diperkuat oleh perlakuan patriarki mereka sebagai komoditas, sebagai properti. Tidak mungkin memastikan akses ke hak yang begitu integral dengan pekerjaan yang layak karena barang – komoditas, produk – tidak memiliki hak. Ini mendasari logika bisnis usaha kriminal ini.

Gagasan prostitusi sebagai “pekerjaan seks” bergantung pada klaim bahwa ia telah memilih pekerjaan ini. Ini adalah pilihannya. Ini mengabaikan semua keterpaksaan dan tekanan yang kita rujuk sebelumnya. Eksploitasi yang disengaja dan sistematis atas kerentanan ekonomi, sosial, dan fisik perempuan dan anak perempuan karena kemiskinan, hutang, dan pengusiran, menghasilkan keterpaksaan. Bukan pilihan.

Dalam pekerjaan kami tentang perbudakan modern di industri perikanan, kami telah menyelamatkan para nelayan dari perdagangan manusia dan kerja paksa. Saya belum pernah mendengar pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, atau NGO  mengatakan bahwa mereka berada di kapal itu karena pilihannya. Mereka mengakui bahwa karena alasan kemiskinan, hutang, dan pengusiran, mereka berada di kapal itu – bukan melalui pilhannya sendiri – dan menjadi sasaran perlakuan yang mengerikan dan merendahkan. Mengapa organisasi yang sama ini mengatakan bahwa perempuan yang dieksploitasi dalam prostitusi membuat pilihan? Dan apa yang terjadi dengan kemarahan kita atas perlakuan yang mengerikan dan merendahkan?

Satu-satunya cara di mana kita dapat menganggap ini sebagai pilihan adalah apabila semua prasyarat paksaan dan tekanan dihilangkan. Apa artinya? Artinya, pertama-tama kita menghapus kemiskinan, hutang, pengusiran, perdagangan manusia, kerja paksa, dan kerentanan perempuan dan anak perempuan yang mengarah pada perdagangan manusia dan kerja paksa. Harus ada perlindungan sosial untuk semua, kesehatan untuk semua, kebebasan dari hutang. Kita harus membangun perlindungan sosial komperhensif yang diserukan Sekjen PBB pada September tahun lalu dan mengentaskan kemiskinan. Kita harus menciptakan pekerjaan, menjamin upah layak, dan memastikan setiap orang memiliki akses ke hak asasi manusia universal atas perumahan, pendidikan, pangan, dan gizi sebagaimana dijamin dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia. Hanya dengan demikian mungkin untuk berargumentasi bahwa adanya pilihan yang dibuat.

Padahal kita sangat jauh dari kondisi ini. Sebaliknya, kita menghdapi peningkatan kemiskinan, hutang, dan pengungsian dalam beberapa dekade mendatang. Ini berarti meningkatnya kerentanan jutaan perempuan dan anak perempuan. Ini berarti meningkatnya eksploitasi perempuan dan anak perempuan dalam prostitusi.

Seiring dengan pulihnya pariwisata global secara bertahap dengan janji untuk “membangun kembali dengan lebih baik”, pemerintah, pemilik resor, dan operator industri pariwisata akan sekali lagi mendorong dan mempromosikan prostitusi sebagai daya tarik wisata – sebagai hiburan. Tidak ada keraguan bahwa wisata seks akan menjadi pendorong pendapatan devisa dan pemulihan bisnis di banyak negara. Perempuan dan anak perempuan yang dieksploitasi dalam wisata seks ini akan tetap miskin karena industri membutuhkan mereka untuk menjadi miskin; membutuhkan mereka untuk terus-menerus rentan.

Pasal 23 Deklarasi Hak Asasi Manusia mengacu pada hak untuk memperoleh penghasilan yang menjamin “keberadaan yang layak untuk martabat manusia.” Apa yang terjadi ketika mendapatkan penghasilan yang secara paksa merenggut martabat – dengan memperlakukan Anda sebagai produk, sebagai properti – mencoba merampas perikemanusiaan Anda juga? Para penyintas dengan berani berjuang untuk memulihkan martabat kemanusiaan mereka dengan melarikan diri dari perdagangan manusia dan prostitusi serta membantu orang lain melakukannya. Menyebut prostitusi sebagai “pekerjaan seks” merendahkan perjuangan yang berani itu dan hanya meragukan kemanusiaan dan martabat manusia kita sendiri.

Dr Muhammad Hidayat Greenfield

Sekertaris Regional IUF Asia/Pasifik