by IUF Asia/Pacific | Feb 10, 2023 | Bahasa Indonesia, Defending Democracy, Human Rights
Ungkapan “Jika Anda tidak marah, Anda kurang memperhatikan!” tepat atas lemahnya tanggapan masyarakat internasional terhadap penindasan brutal terhadap demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia di Myanmar saat ini. Di luar Myanmar tidak ada cukup kemarahan. Dan – terlepas dari upaya luar biasa para jurnalis dan pembela hak asasi manusia – dunia tidak memberikan perhatian yang cukup.
Di Myanmar, aksi bisu pada 1 Februari 2023 menandai peringatan dua tahunan kudeta militer, mengosongkan jalan-jalan di seluruh negeri. Di kota-kota dan desa-desa, orang-orang dari semua etnis dan bahasa memprotes dengan keras dan nyata melalui keheningan dan ketiadaan mereka.
Tanggapan internasional atas tindakan berani yang luar biasa oleh rakyat Myanmar ini sungguh memalukan. Alih-alih membuat keributan di koridor kekuasaan pemerintah, mengutuk perusahaan yang masih mendukung junta militer melalui investasi dan kesepakatan bisnis, malah diam. Alih-alih mengecam keras berlanjutnya bantuan ekonomi dan perdagangan yang menopang State Administration Council (SAC) yang ilegal dan tidak sah, komunitas internasional hanya menonton dan menunggu. Semakin banyak diam.
Saat komunitas internasional tampaknya tidak paham arti sesungguhnya dari aksi bisu yang berani pada 1 Februari, pemerintah militer State Administration Council (SAC) yang ilegal dan tidak sah memahaminya dengan jelas. Dalam keheningan 1 Februari, minimnya otoritas dan legitimasi junta militer SAC terungkap. Kecuali untuk angkatan bersenjatanya sendiri, gerombolan preman, dan kroni bisnisnya, semua orang menentang junta militer SAC. Karena panik oleh hal ini, junta militer memperpanjang keadaan darurat dan meningkatkan penumpasan brutal terhadap aktivis pro-demokrasi dan pembela hak asasi manusia.
Gelombang baru penangkapan, represi dan kekerasan negara telah dimulai.

junta militer yang putus asa memobilisasi massa di jalan-jalan kosong, menunjukkan kelemahan bukan kekuatan
Junta militer juga menyadari bahwa aksi bisu yang efektif dan meluas oleh rakyat akan merusak pemilu nasional yang curang pada Agustus 2023. Tujuan pemerintah militer SAC yang ilegal dan tidak sah adalah mengadakan pemilu pada bulan Agustus untuk menenangkan masyarakat internasional. Tujuannya adalah agar pemilu menunjukkan “kemajuan bertahap” dalam mengembalikan demokrasi. Penasihat ekonomi dan perdagangan beberapa pemerintahan – termasuk Uni Eropa – memberi tahu militer SAC dan kroni bisnisnya bahwa ilusi pemilu pada bulan Agustus akan membantu meringankan sanksi, mencairkan aset para pemimpin militer dan mengembalikan “bisnis berjalan seperti biasa”.
Tetapi aksi bisu pada 1 Februari menghancurkan ilusi ini. Prospek boikot yang meluas terhadap pemilu yang curang sangat nyata. Dalam keputusasaan, junta militer melancarkan serangan baru terhadap rakyat Myanmar. Komunitas internasional harus merespons sekarang dengan segera mengutuk pemilu sebagai sesuatu yang curang dan ilegal. Komunitas internasional harus marah dan harus menunjukkan kemarahan ini melalui tindakan bersama melawan pemerintah SAC yang ilegal dan tidak sah beserta kroni bisnisnya.
Tindakan tersebut berarti mengakui National Unity Government (NUG) sebagai pemerintah yang sah bagi rakyat Myanmar. Yang dimaksud dengan pengakuan penuh adalah pengakuan yang didukung dengan bantuan bilateral dan kerjasama pemerintah-ke-pemerintah dengan NUG. Pengakuan penuh harus mencakup pengakuan diplomatik resmi atas NUG oleh semua departemen/biro dan misi perdagangan mereka di luar negeri.
Siapa pun yang memperhatikan dan marah akan menantang kemunafikan pemerintah mereka sendiri yang mengklaim mengakui NUG, tetapi mengizinkan departemen pemerintahan dan misi pedagangan luar negeri mereka untuk tetap membiarkan perdagangan dan investasi mengalir. Ini adalah misi perdagangan dan bantuan luar negeri yang sama yang akan melobi secara internal untuk menerima pemilu Agustus sebagai “cacat tapi menandakan kemajuan”.
Jika pemerintah asing menerima pemilu sebagai tanda dari “kemajuan bertahap” dalam mengembalikan demokrasi, maka kembalinya demokrasi tidak akan pernah terjadi. Satu-satunya hal yang akan kembali adalah kesepakatan bisnis dengan kroni militer.
Kita tidak dapat menahan demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia di Myanmar dengan pertimbangan “strategis” dari perang yang berkepanjangan di Ukraina, kebutuhan energi dan keamanan pangan. Petani dan pekerja perkebunan bergabung dalam aksi bisu pada 1 Februari. Jadi mengapa Uni Eropa dan negara-negara lain masih mengimpor beras dan makanan esensial lainnya? Mengapa mereka mencoba untuk “menormalkan” perdagangan selama krisis kemanusiaan? Upaya apa pun oleh pemerintah asing atau badan perdagangan dan investasi mana pun sebagai prekursor untuk “bisnis berjalan seperti biasa” merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam aksi bisu mereka pada 1 Februari 2023, rakyat Myanmar telah angkat bicara. Kita harus memperhatikan, marah, dan mengambil tindakan.
by IUF Asia/Pacific | Dec 15, 2022 | Bahasa Indonesia, Campaigns
Pada 25 November 2022, serikat pekerja bertemu dengan manajemen Phillip Seafood Indonesia untuk menuntut 40 pekerja harian perempuan yang diberhentikan secara tidak adil agar diberikan pekerjaan dan dialihkan ke posisi permanen. Manajemen menolak dan mengulangi perkataannya bahwa para pekerja tersebut gagal meningkatkan “kecepatan” mereka dalam memenuhi target harian.
Lima hari kemudian, pada tanggal 30 November, manajemen menghentikan iuran untuk BPJS Kesehatan mereka.
by IUF Asia/Pacific | Dec 15, 2022 | Bahasa Indonesia, Campaigns
Pada tanggal 1-2 Desember 2022, tim Senior Manajemen dari Phillips Seafood – termasuk Manajemen AS – mengunjungi pabrik daging kepiting di Lampung, Indonesia, untuk melihat kondisi mesin dan peralatan. Mereka mengabaikan protes besar-besaran para pekerja perempuan atas pemutusan hubungan kerja yang tidak adil terhadap pekerja harian yang saat ini menuntut untuk diberikan pekerjaan tetap. Mereka tidak berhenti untuk bertemu dengan perwakilan serikat pekerja. Mereka tidak melakukan uji kelayakan. Mereka tidak meminta hasil penilaian dari status pekerja, beban kerja, kondisi kerja atau target harian. Mereka berfokus pada penggantian dan perbaikan mesin. Apakah ini mencerminkan nilai- dan kurangnya nilai moral – dari sebuah perusahaan yang mengaku sebagai pemegang bisnis keluarga di Baltimore?

by IUF Asia/Pacific | Dec 15, 2022 | Bahasa Indonesia, Campaigns
Selama puluhan tahun, Sri Rezeki, Eti dan Suwarni setiap hari bekerja mengupas kepiting dan memisahkan daging dengan cangkang kepiting di Pabrik Phillips Seafood di Lampung, Indonesia. Sebagai pekerja harian, mereka bekerja di bawah tekanan kuat untuk memenuhi target harian yang berubah dengan cepat yang diukur dalam kilogram daging kepiting. Mereka menderita karena pekerjaan yang berlebihan, mengalami cedera dan menghadapi ancaman kesehatan yang buruk. Setiap pagi selama 20 tahun, mereka bersiaga menunggu SMS dari manajemen untuk mengetahui apakah mereka mendapatkan jadwal bekerja ke pabrik atau tidak. Hal tersebut merupakan bentuk ketidakamanan dan kecemasan tambahan dalam pekerjaan yang sudah tidak aman.
-
-
Eti – 20 tahun bekerja di bagian pengolahan daging kepiting untuk Phillips Seafood
-
-
Suwarni – 20 tahun bekerja di bagian pengolahan daging kepiting untuk Phillips Seafood
-
-
Sri Rezeki – 20 tahun bekerja di bagian pengolahan daging kepiting untuk Phillips Seafood
-
-
Desiyanti – 13 tahun bekerja di bagian pengolahan daging kepiting untuk Phillips Seafood
-
-
Rusmiyati – 13 tahun bekerja di bagian pengolahan daging kepiting untuk Phillips Seafood
Sama seperti bisnis restoran milik keluarga, Phillips Seafood yang berpusat di Baltimore, AS, yang berinvestasi dalam memperluas produksi daging kepiting di Pabrik Lampung, Sri Rezeki, Eti dan Suwarni – bersama dengan 37 pekerja harian perempuan lainnya berhenti menerima SMS dari Manajemen di tanggal 30 Agustus 2022. Sejak saat itu mereka efektif diberhentikan.
Ketika Serikat menuntut untuk mengetahui mengapa 40 perempuan itu tidak lagi dipanggil untuk bekerja, manajemen menyatakan bahwa hal itu terjadi karena “kinerja yang buruk” – gagal memenuhi target harian mereka. Namun kesamaan Sri Rezeki, Eti dan Suwarni dengan 35 buruh perempuan yang dipekerjakan sebagai buruh harian selama 20 tahun dan dua perempuan lainnya, Rusmiyati dan Desiyanti, yang bekerja selama 13 tahun, adalah mereka secara resmi meminta untuk dijadikan pekerja tetap. Mereka telah meminta untuk diangkat menjadi pekerja tetap pada 2010, 2012, dan 2017.
Setelah serikat pekerja mendapatkan pengakuan dari perusahaan pada akhir tahun 2021 (setelah perjuang selama 12 tahun untuk hak-hak serikat pekerja) dan merundingkan kesepakatan bersama pertamanya, diringan untuk pekerjaan tetap bagi pekerja harian perempuan meningkat pada tahun 2022. Sebagai tanggapan manajemen secara sederhana berhenti memanggil mereka untuk bekerja. Hanya setelah serikat pekerja menuntut para perempuan ini untuk melanjutkan pekerjaannya dan dijadikan pekerja permanen, Manajemen mengklaim bahwa hal itu terjadi karena “kinerja yang buruk”. Setelah mereka bekerja selama 20 tahun. Jadi pertanyaannya tetap: Bagaimana perusahaan seperti Phillips Seafood dapat memutuskan bahwa pekerja harian perempuan di Indonesia yang mengekstraksi dan menyiapkan daging kepiting untuk restorannya di AS selama dua dekade, memiliki kinerja yang buruk dan sekarang mereka berhentikan begitu saja?

by IUF Asia/Pacific | Nov 23, 2022 | Bahasa Indonesia
Tidak ada keraguan bahwa perlindungan sosial dapat berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif di mana pekerja dapat meningkatkan mata pencarian mereka dan memastikan pendapatan yang stabil dan pekerjaan yang aman. Hal ini sangat penting bagi pekerja yang terlibat dalam perikanan dan pertanian skala kecil, dan bagi petani marjinal, pekerja sektor informal dan pekerja berbasis rumahan. Semakin besar kerentanan fisik, sosial dan ekonomi, semakin besar kebutuhan akan perlindungan sosial. Namun pada saat yang sama, semakin besar kerentanan fisik, sosial dan ekonomi, semakin sedikit akses yang dimiliki para pekerja ini terhadap perlindungan sosial. Korelasi terbalik antara kerentanan dan akses ke perlindungan sosial ini terjadi di semua sektor dan terutama terlihat di antara pekerja sektor informal dan pekerja migran.
Menyerukan lebih banyak perlindungan sosial bukanlah solusi itu sendiri. Kita ambil contoh sektor perikanan, perlindungan sosial dapat efektif dalam memastikan akses terhadap hak dan meningkatkan mata pencarian dan kesejahteraan nelayan, petani, dan pekerja perikanan. Tetapi efektivitasnya tergantung pada hak, proses dan alokasi sumber daya.
Keterlibatan langsung pekerja perempuan dalam pengambilan keputusan sangat penting agar perlindungan sosial efektif dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan mata pencarian. Keterlibatan perempuan tidak bisa bersifat simbolis atau pasif (perempuan sebagai sasaran instrumen perlindungan sosial). Hal ini tidak didasarkan pada pencantuman perspektif gender dan pendekatan berbasis gender semata, melainkan pelibatan perempuan itu sendiri. Pekerja perempuan harus mampu secara kolektif mewakili diri mereka sendiri di tempat kerja, pertanian dan masyarakat – dan di semua tingkat pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan – agar perlindungan sosial menjadi efektif dan benar-benar adil.
Perempuan akan memastikan bahwa perlindungan sosial bermakna dan efektif melalui perwakilan langsung dan kolektif mereka dalam pengambilan keputusan dalam alokasi dan distribusi sumber daya publik; dan penilaian dan pemantauan berkelanjutan untuk memastikan transparansi, keadilan, dan jangkauan. Jika pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki, maka tidak hanya ada kemungkinan lebih besar bahwa perlindungan sosial tidak akan efektif dan terbatas dalam cakupan dan jangkauannya, ada juga kemungkinan lebih besar diskriminasi, penyalahgunaan dan korupsi. Terkikisnya program perlindungan sosial yang ada akibat korupsi masih menjadi tantangan serius di kawasan ini.
Menambahkan lebih banyak sumber daya untuk perlindungan sosial ke lembaga yang rusak, tidak bertanggung jawab, dan buram hanya menyebabkan kegagalan. Sementara teknologi baru dapat memainkan peran penting, reformasi kelembagaan mendasar diperlukan. Yang paling penting adalah partisipasi langsung dan kolektif pekerja perempuan dalam pengambilan keputusan. Di India, penggunaan perlindungan sosial yang paling efektif di bawah Undang-Undang Jaminan Ketenagakerjaan Pedesaan Nasional (NREGA) terjadi di mana serikat pekerja independen dan demokratis yang dipimpin oleh perempuan terlibat dalam pengorganisasian, intervensi kebijakan, dan pengambilan keputusan. Serikat pekerja ini memastikan bahwa perempuan mengamankan hak-hak mereka di bawah NREGA, sementara juga terlibat dengan otoritas lokal untuk memastikan penggunaan sumber daya NREGA yang tepat, adil dan efektif.
Keterlibatan dan keterwakilan kolektif dan langsung dari perempuan dalam pengambilan keputusan mengasumsikan bahwa perempuan dapat menggunakan hak atas kebebasan berserikat yang dijamin dalam Konvensi ILO Nomor 87 (Yang juga penting adalah Konvensi ILO Nomor 11, 141 dan 177 tentang hak pekerja pertanian untuk berorganisasi; organisasi pekerja pedesaan; dan pekerja berbasis rumahan). Perempuan dapat bergabung bersama dalam sebuah organisasi yang mereka pilih sendiri, mewakili kepentingan kolektif mereka dan terlibat dalam perundingan bersama dan pengambilan keputusan. Setiap pembatasan kebebasan berserikat atau hambatan yang menghalangi akses perempuan ke hak-hak yang mencegah keterlibatan mereka, yang pada gilirannya merusak efektivitas kebijakan dan program perlindungan sosial.
Pembatasan atau hambatan terhadap kemampuan perempuan pekerja, petani dan nelayan perempuan untuk mengorganisir diri juga memperburuk kerentanan ekonomi dan sosial perempuan. Hal ini menyebabkan meningkatnya eksploitasi dan pelecehan – termasuk perdagangan manusia dan kerja paksa – yang membuat perlindungan sosial menjadi tidak memadai dan tidak berarti.
Dalam hal alokasi sumber daya, perlindungan sosial seharusnya tidak secara tidak langsung mensubsidi industri perikanan komersial skala besar. Upah rendah dari pekerja perikanan di kapal dan di pabrik melanggengkan kemiskinan di komunitas mereka – komunitas yang sering berada di dalam dan di sekitar operasi perikanan komersial. Pada tanggal 3 September 2022, Kongres Pekerja Perikanan Nasional ke-4 di Filipina menetapkan hubungan antara membangun kekuatan pekerja perikanan dan industri perikanan yang berkelanjutan.
Dalam konteks ini Kongres Pekerja Perikanan Nasional mengidentifikasi kemiskinan, utang dan kurangnya akses terhadap hak asasi manusia (pangan dan gizi, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan) sebagai konsekuensi langsung dari upah rendah di sektor perikanan komersial swasta. Upaya yang diatur oleh pengusaha untuk mencegah pengorganisasian serikat, dan pelanggaran berulang atas hak kebebasan berserikat dan perundingan bersama yang dijamin di bawah Konvensi ILO Nomor 87 dan 98, mencegah pekerja perikanan dari perundingan bersama untuk mendapatkan upah yang lebih baik dan mengangkat diri mereka sendiri dan keluarga mereka keluar dari kemiskinan.
Perundingan bersama di sektor perikanan komersial swasta untuk mencapai upah dan penghidupan yang lebih baik harus tetap menjadi prioritas dan perlindungan sosial yang dibiayai pemerintah tidak boleh secara tidak sengaja mensubsidi industri yang menekan hak dan melanggengkan upah rendah.
Pelanggaran serius dan meluas terhadap hak kesehatan dan keselamatan pekerja di sektor perikanan bertentangan dengan Konvensi ILO Nomor 155, yang sekarang menjadi konvensi mendasar. Beberapa anggota komunitas nelayan yang berpartisipasi dalam Kongres Pekerja Perikanan Nasional ke-4 di Filipina menggambarkan cedera serius yang diderita oleh nelayan di sektor perikanan komersial swasta karena praktik kerja yang tidak aman. Pekerjaan yang tidak aman menyebabkan cedera yang lebih besar, penyakit jangka panjang dan ketidakmampuan untuk bekerja, yang pada gilirannya meningkatkan beban program perlindungan sosial.
Di Maladewa, misalnya, BKMU, afiliasi kami memiliki kapasitas untuk menegosiasikan harga hasil tangkapan yang akan meningkatkan pendapatan dan mata pencarian para nelayan dan keluarga serta masyarakat mereka, termasuk pekerja migran. Namun, RUU Hubungan Industrial yang baru saat ini di parlemen menjadi ancaman yang melemahkan kemampuan BKMU untuk berorganisasi dan berunding bersama. Dengan tidak adanya hak tawar-menawar kolektif, perusahaan pembeli mempertahankan monopsoni dan dapat memanipulasi harga tangkapan dan mengurangi pendapatan anggota BKMU. Hal ini menyebabkan kemiskinan dan utang yang lebih besar di masyarakat yang bergantung pada pendapatan ini. Beralih ke perlindungan sosial bukanlah jawabannya. Jawabannya di sektor perikanan komersial terletak pada pelaksanaan hak tawar-menawar kolektif untuk mendistribusikan kembali keuntungan, bukan pengalihan sumber daya publik melalui perlindungan sosial.
Perlindungan sosial paling dibutuhkan dalam perikanan rakyat, akuakultur ekstensif skala kecil, sektor informal dan pekerjaan berbasis rumahan, serta komunitas nelayan pesisir dan pedalaman yang mengalami kerentanan iklim. Ini adalah bagian penting dari strategi yang diperlukan untuk segera menangani pekerja anak di perikanan rakyat dan akuakultur.
Kerentanan komunitas nelayan pesisir terhadap perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya spesies akuatik merupakan masalah serius di seluruh wilayah. Hal ini memiliki dampak yang signifikan terhadap mata pencarian dan pendapatan serta ketahanan pangan lokal. Efektivitas perlindungan sosial tergantung pada pendekatan kebijakan yang lebih koheren dan komprehensif yang mengintegrasikan perlindungan dan hak lingkungan. Ini termasuk hak nelayan atas perwakilan kolektif dalam pengambilan keputusan dan hak atas pangan dan gizi. Ini juga membutuhkan tindakan pemerintah untuk menghentikan polusi industri yang membunuh mata pencarian mereka.
-
-
polusi industri
-
-
kerentanan iklim
Pertanyaan tentang sumber daya juga terkait dengan prevalensi subsidi pemerintah untuk penangkapan ikan komersial skala besar, terutama penangkapan ikan di perairan jauh/distant water fishing (DWF). DWF memiliki dampak yang signifikan terhadap sumber daya perairan yang langka dan merupakan ancaman akan berkurangnya ketersediaan perikanan tangkap laut. Hal ini pada gilirannya mengancam mata pencarian dan ketahanan pangan masyarakat nelayan. Jika tidak ditangani, subsidi pemerintah untuk penangkapan ikan komersial skala besar dan armada DWF akan menciptakan kemiskinan, utang, dan kerawanan pangan yang lebih besar di komunitas nelayan pesisir dan terutama di kalangan nelayan tradisional dan pribumi. Hal ini kemudian menciptakan kebutuhan (yang dapat dihindari) akan perlindungan sosial yang lebih banyak. Namun, efektivitas perlindungan sosial ini akan terus dirusak selama subsidi ekstraktif untuk industri perikanan komersial terus berlanjut.
Dalam pengertian inilah perlindungan sosial untuk mengamankan “transformasi biru” yang adil di sektor perikanan membutuhkan realokasi sumber daya publik yang signifikan dan pengakuan hak-hak pekerja. Kita tidak hanya perlu meningkatkan perlindungan sosial yang didanai pemerintah, tetapi juga mengurangi subsidi untuk kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan, mata pencarian dan pendapatan, serta ketahanan pangan. Selain itu, perlindungan sosial harus dibiayai melalui alokasi sumber daya publik yang lebih besar, yang memprioritaskan pengurangan dukungan untuk industri ekstraktif atau destruktif, dan peningkatan pajak perusahaan dan pajak atas orang kaya.
Pada akhirnya perlindungan sosial harus mendistribusikan kembali kekayaan jika ada transformasi yang benar-benar adil dan berkelanjutan.
-
-
perempuan di sektor informal membutuhkan perlindungan sosial, tetapi harus memiliki hak atas keterwakilan kolektif untuk memastikan perlindungan sosial efektif dan adil
-
-
perempuan dalam industri perikanan komersial swasta membutuhkan hak atas kebebasan berserikat dan perundingan bersama untuk mengangkat diri mereka sendiri, keluarga mereka dan komunitas mereka keluar dari kemiskinan
-
-
penangkapan ikan komersial membutuhkan hak pekerja dan serikat pekerja dan praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, bukan subsidi atau perlindungan sosial
by IUF Asia/Pacific | Nov 11, 2022 | Bahasa Indonesia, Women Unions & Power
Semakin umum terjadi dalam sebuah pidato, pertemuan, konferensi dan dokumen kebijakan saat ini yang menyebutkan bahwa organisasi/pemerintah/perusahaan menegaskan kembali bahwa mereka telah memasukkan pendekatan berbasis gender atau perspektif gender (analisa dampak gender).
Dan tentu saja kami memasukkan perspektif gender dan mengakui peran penting perempuan.
Kata “tentu saja” dalam kalimat tersebutlah yang seharusnya membuat kita gugup. Ini menyisyaratkan bahwa kalimat tersebut seolah-olah benar adanya sehingga membuat kita seperti tidak boleh meragukan kalimat ini. Kalimat tersebut diucapkan dengan roman yang jelas, tetapi juga terlihat defensif. Hal seperti ini hampir mirip seperti polis asuransi terhadap kritik yang akan diberikan jika gagal dalam menerapkan perspektif gender dan peran perempuan. Tetapi kita sering dibuat bertanya-tanya bagaimana seharusnya perspektif gender diterapkan, bagaimana perempuan berpartisipasi dalam hal ini (baik salah satu ataupun keduanya), dan apakah perempuan benar-benar membuahkan hasil? Kita dibiarkan bertanya, “Okay, tetapi apakah perspektif gender ini benar-benar mengubah sesuatu?”
Menulusri laporan dan dokumen kebijakan-kebijakan terbaru dari sejumlah lembaga internasional, termasuk badan-badan PBB, Bank Dunia dan International Finance Corporation (IFC) dan IMF, terapat berbagai referensi-refernsi yang menyinggung perspektif gender, pendekatan berbasis gender dan kebijakan sensitif tentang gender. Bahkan sekarang terdapat ketahanan berbasis gender.
Seluruh bab didedikasikan untuk perspektif gender. Dalam kebanyakan kasus, hal itu hanya menunjukkan bahwa perempuan telah ada di dalam data sekarang. Satu dekade lalu tidak ada perincian mengenai gender dalam fakta dan angka. Sehingga menjadikan perempuan untuk pertama kalinya terlihat masuk kedalam data. Pemerintah, perusahaan, dan lembaga internasional sekarang dapat mengucapkan kata, “tentu saja”. Tetapi apa yang terjadi dengan data ini? Bagaimana data tersebut mengubah situasi yang dialami perempuan? Bagaimana perempuan memanfaatkannnya untuk mengupayakan perubahan pada situasi mereka saat ini? Sepuluh tahun dari sekarang, akankah data menunjukkan perubahan yang dilakukan oleh permpuan? (Selama pandemi, data memang berubah. Kesenjangan upah terhadap gender melebar lagi, membuat perempuan mundur sejauh satu dekade atau lebih).
Dalam hal-hal yang berkaitan dengan prespektif gender ini, terdapat hal-hal yang berisi studi kasus, cerita, dan suara dari perempuan. Atau lebih tepatnya, suara seorang perempuan; seorang perempuan yang pandai untuk berjuang keluar dari lubang kemiskinan atau berusaha keras untuk masuk kedalam masyarakat sebagai kaum marginal. Tidak diragukan lagi hal tersebut adalah sebuah perjuangan, dan kami menghormatinya. Tapi yang lebih sering terjadi adalah, perempuan-perempuan itu adalah mereka yang berjuang sendiri. Bukan perempuan yang berkelompok. Bukan perempuan-perempuan yang terorganisir secara kolektif. Bukan perempuan yang penyatuan kekuatannya menggaggu hak istimewa, kekuasaan, dan status laki-laki.
Kisah-kisah kesuksesan yang ada cenderung menunjukkan bagaimana perempuan-perempuan (atau seorang perempuan) merapatkan kesenjangan gender dan mencapai atau melampaui apa pun yang dilakukan seorang laki-laki. Sekali lagi, kami tidak menganggap enteng hal ini dan kami pun menghormati betapa sulitnya hal itu. Tapi kita jarang melihat laki-laki melakukan sesuatu untuk merapatkan kesenjangan ini sebagai bentuk nyata pada pendekatan berbasis gender atau perspektif gender. Laki-laki tetap diam, ketika perempuan harus bekerja sepuluh kali lebih keras untuk sampai ke posisi/level di mana laki-laki berada. Dengan kata lain, laki-laki mempertahankan hak istimewa dan kekuasaan patriarkinya dan perempuan harus mencari cara untuk melewatinya.
Intinya, perspektif gender dan pendekatan berbasis gender tidak ada artinya jika tidak membahas masalah kekuasaan. Lebih jauh lagi, perspektif gender hanya akan membuahkan hasil jika mereka berkontribusi pada perempuan yang bergabung untuk menggunakan kekuatan kolektif mereka untuk membawa perubahan yang mendasar. Perspektif gender tidak boleh berupa sudut pandang statis (snapshot, profil, atau kumpulan data). Perspektif gender harus menjadi proses interaksi yang dinamis antara kerentanan sistematik dan institusional dan marginalisasi perempuan, kepercayaan kolektif perempuan dan kemampuan mereka untuk berorganisasi, dan perjuangan kolektif perempuan untuk mengatasi diskriminasi, penindasan dan eksploitasi.
Seperti yang saya katakana di tempat lain: Patriarki bukanlah sikap. Patriarki adalah siasat pemangku kekuasaan (rezim) yang dirancang untuk menindas dan mengeksploitasi perempuan. Dengan sengaja membatasi kekuatan kolektif orang-orang yang bekerja, dan melemahkan kekuatan organisasi kita. Hal ini bukan budaya, itu politik.
Agar perspektif gender dan pendekatan berbasis gender menjadi bermakna, para perempuanharus bersifat politis. Sebagai konsekuensinya, mereka harus berkontribusi pada peningkatan kekuatan kolektif perempuan.
Dalam konteks ini kita perlu menilai secara kritis setiap klaim untuk mengunsurkan perspektif gender dan pendekatan berbasis gender. Kita harus bertanya bagaimana perempuan memiliki daya kekuatan yang lebih dalam pengambilan keputusan? Bagaimana perempuan memiliki kontrol lebih (dalam alokasi sumber daya dan pelaksanaan hak dan perwakilan) untuk menentukan tindakan dan hasilnya? Bagaimana perempuan menggunakan kekuatan kolektif mereka untuk melembagakan (mengunci) keuntungan ini dan memastikan bahwa apa pun yang diperolehh tidak diambil?
Jika perspektif gender dalam penelitian, kebijakan, program, dan tindakan negara tidak menjamin lebih banyak kekuatan bagi perempuan dalam pengambilan keputusan dan kontrol atas sumber daya, maka itu hanyalah sebatas pandangan semata. Tentu saja kemudian tidak ada yang berubah, semuanya tetap sama.
